Senin, 10 Juni 2013

makalah tradisi ruwahan


TRADISI RUWAHAN
DESA TAMBAKBOYO, TAWANGSARI, SUKOHARJO



Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata  Kuliah Islam dan Budaya Jawa dengan dosen pengampu Mibtadin Anis, S.Fil, M.Si


Nama :
Mutia Suryandari (123221206)




Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Institut Agama Islam Negeri Surakarta
2013
BAB I
PENDAHULUAN

Ruwahan di bulan Sya’ban (atau Ruwah) dalam budaya Islam Jawa adalah tradisi yang selalu dilaksanakan sepuluh hari sebelum bulan Puasa (Ramadhan). Semua rangkaian acara ruwahan bertolak dari keimanan pada Tuhan agar dalam hidup ini mereka yang tengah hidup di dunia mengingat akan asal-usulnya (sangkan paraning dumadi) yang secara biologis adalah mengingat leluhur yang melahirkan kita. Mengingat arwah leluhur dan merenungi kehidupan manusia yang sementara  seraya berdoa untuk mereka yang telah mendahului merupakan inti dari tradisi di bulan Ruwah ini. Ini adalah pengejawahtahan dari hadis yang mengatakan bahwa satu dari amal yang tidak putus ketika orang telah meninggal adalah doa anak yang saleh. Adapun acara ritual bersih kampung, , hingga kenduri adalah paktik doa bagi semua keluarga sanak saudaranya yang masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yang suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa.














BAB II
PEMBAHASAN

A.    SEJARAH RUWAHAN

Hampir tak ada yang tahu persis kapan sebenarnya tradisi ruwahan bagi orang Jawa dilaksanakan. Namun dalam ajaran Islam, bulan Syaban yang datang menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia.Maka, di sejumlah tempat diadakan sadranan yang maknanya adalah melaporkan segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama setahun, untuk nantinya manusia berintrospeksi. Dalam masyarkat Jawa tradisi atau ritual Ruwahan sudah ada pada zaman Hindu-Budha.
Ruwahan bukanlah tradisi asli dari Jawa melainkan peninggalan dari agama Hindu. Pada saat itu ruwahan disebut dengan tradisi upacara srada namun kemudian masyarakat Jawa lebih mudah menyebutnya dengan upacara nyadran. Pada saat nyadran masyarakat membawa uborampe seperti kembang, apem, ketan kukus, kolak, menyan dan air kekuburan. Kemudian meminta ketentraman dan kebahagiaan kepada leluhur yang ada di daerah tersebut. Kemudian setelah agama Islam masuk ke pulau Jawa. Budaya yang sudah lestari tidak dihilangkan tetapi dimasuki dengan unsur-unsur islam. Wadahnya masih nyadran namun isisnya diganti dengan doa-doa islam.
Saat itu, ruwahan  dimaknai sebagai sebuah tradisi yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13, tradisi ruwahan yang ada pada zaman Hindu-Buda lambat laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.
Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya budaya ruwahan. Oleh karena itu, ruwahan bisa jadi merupakan akomodasi para wali ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa.
Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap orang Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadran pun menjadi media siar agama Islam. Selain ritual ruwahan, salah satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam islam berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan.
Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah, agar kelak anak-cucunya dan segenap keturunannya bisa mendatangi untuk ziarah, mendoakan sang arwah, sewaktu-waktu. Bagi sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa, mudik terdiri atas dua arus. Arus besar pertama terjadi dalam rangka menyongsong lebaran, atau Idul Fitri.
B.     PENGERTIAN TRADISI RUWAHAN
Ruwahan sebenarnya mengacu pada nama dalam sistem penanggalan Jawa, yakni bulan Ruwah. Dari nama ini muncullah istilah Ruwahan. Dalam pengertian umum ruwah sering dimaknai sebagai “ngluru arwah” atau bersilaturahmi kepada arwah.  Bulan Ruwah dalam sistem kalender Jawa biasanya bersamaan dengan bulan Syaban pada sistem kalender Hijriyah. Bulan Syaban sendiri merupakan bulan sebelum bulan Ramadhan (puasa). Oleh karena itu pula Ruwahan lalu dikaitkan pula dengan persiapan menjelang atau memasuki bulan Ramadhan. Ramadhan yang identik dengan matiraga atau penyucian diri itu diawali dengan Ruwahan yang biasanya diisi dengan mendoakan arwah leluhur dan bermaafan dengan tetangga serta sanak saudara.
Tidak jelas benar kapan tradisi ruwahan ini mulai muncul. Akan tetapi hal demikian dapat diduga merupakan perkembangan dari sebuah tradisi yang telah lama ada di hampir semua wilayah atau daerah di Nusantara, yakni tradisi penghormatan kepada arwah leluhur. Hal demikian sebenarnya juga menjadi petunjuk bahwa sudah sejak lama masyarakat Jawa mempercayai adanya kehidupan abadi setelah kehidupan di dunia. Artinya, arwah orang meninggal adalah abadi. Arwah di alam abadi inilah yang oleh masyarakat Jawa dirasa perlu “dikaruhake” (disapa, diajak dialog).
Selain makna tersebut, ritual ruwahan merupakan wujud bakti dan rasa penghormatan kita sebagai generasi penerus kepada para pendahulu yang kini telah disebut sebagai Leluhur. Ruwahan didasari oleh kesadaran spiritual masyarakat kita secara turun-temurun, di mana kita hidup saat ini telah berhutang jasa, berhutang budi baik kepada alam dan para leluhur pendahulu yang telah mendahului kita. Bulan Arwah juga merupakan saat di mana kita harus “sesirih” atau bersih-bersih diri meliputi bersih lahir dan bersih batin. Tidak hanya membersihakan diri pribadi tapi juga membersihkan lingkungan sekitar tempat tinggal.
Yang paling penting dari tradisi Ruwahan yang sudah turun temurun sejak ratusan atau bahkan mungkin ribuan tahun silam itu adalah terjadinya interaksi dan bahkan komunikasi dua pihak. Yakni pihak orang-orang yang masih hidup dengan pihak leluhur. Bahkan saat bulan Arwah tiba, para leluhur menghentikan “aktivitasnya” untuk suatu “aktivitas” khusus yakni menyambut anak cucu keturunannya, maupun semua orang yang melakukan kegiatan bakti kepadanya, yang diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti membersihkan makam, sedekah dan sesaji, komat-kamit mengucapkan doa, dikir, mengucapkan mantera dan berbagai kalimat yang keluar dari hati nuraninya yang intinya berusaha sambung rasa dengan para leluhurnya.

C.     TATA CARA TRADISI RUWAHAN
Tradisi Ruwahan mempunyai tatacara yang sederhana saja. Yakni diawali dengan membuat sesaji, yaitu sesuatu yang bermakna. Berupa kolak pisang, kolak ubi jalar, ketan kukus, serta makanan tardisional bernama kue apem. Kolak pisang dan ubi jalar berupa kolak kering (hanya direbus dengan air gula dan santan kelapa ). Dapat juga ditambahkan dan ditambahkan sedikit garam, kayu manis, dan cengkeh. Sementara itu kue apem dibuat dengan bahan dasar terdiri dari tepung beras, gula jawa atau gula merah, bisa juga ditambah santan kelapa dan parutan kelapa sesuai selera. Adapula yang menambahkannya dengan buah nangka ke dalam adonan kue apem. Selanjutnya adonan dicetak bundar-bundar di atas tungku api. Untuk ketan, cukup dikukus atau diliwet sebagaimana umumnya memasak ketan.
Setelah ubo rampe sesaji ruwahan selesai dibuat dan siap saji, selanjutnya siap untuk dibagi-bagikan kepada para tetangga. Biasanya minimal kepada 7 Kepala Keluarga, atau bisa lebih hingga 17 Kepala Keluarga. Sesaji itu seluruhnya berupa makanan tradisional. Itu karena leluhur yang hidup di masa lalu kemungkinan besar makanan favoritnya sebatas sebagimana sesaji yang ada di dalam tradisi ruwahan itu. Karena leluhur dapat menyampaikan pesan-pesan kepada anak cucu keturunannya atau orang-orang yang mampu berkomunikasi. Ada yang melalui mimpi, bisikan atau wisik, melalui suatu pertanda alam, melalui rasa sejati, dan bahkan melalui penglihatan visual. Selain alasan di atas, makanan tradisional yang dipilih dalam sesaji tentunya masing-masing mempunyai arti.
Sehingga dapat dikatakan, makanan atau ragam sesaji merupakan bahasa simbol yang dapat mewakili sejuta kata dan ribuan kalimat. Dengan sesaji, maksud dan tujuan yang sangat luas jika dijabarkan satu-persatu, dikemas menjadi ringkas padat dan berisi. Sebagaimana pepatah dalam spiritual Jawa yang mengatakan,”ngelmu iku yen ginelar bakal ngebaki jagad, yen ginulung sak mrico jinumput”. Ilmu jika digelar akan memenuhi jagad raya, jika dilipat (diringkas) dapat menjadi sekecil biji merica.
Ragam & Makna Sesaji Tradisi Ruwahan
1.      Ketanke-mut-an” artinya terkenang, teringat. Maksudnya teringat akan apa yang dilakukan di masa lalu. Jangan melupakan sejarah, yakni jasa kepahlawanan, pusaka warisan, dan peninggalan para leluhur yang hidup di masa lalu. Yang dapat dinikmati oleh generasi penerus, anak turunnya yang hidup di masa kini. Ketan bersifat lengket bermakna pula harapan adanya tali rasa yang akan menjadi perekat hubungan antara leluhur dengan anak cucu keturunannya dan semua orang yang menghaturkan sembah bakti kepadanya.

2.      Kolak pisang  mewakili pala gumantung, hasil bumi yang buahnya menggantung. Dibuat untuk mengingatkan kita selalu teringat akan kesalahan  yang pernah kita lakukan kepada orang tua dan para leluhur serta kepada Sang Jagadnata. Sehingga kita menjadi orang yang selalu mengevaluasi diri dan setiap saat mau berbenah diri. Selain itu, pala gumantung mengingatkan kita supaya batin dan rasa sejati masih tetap tersambung dengan Gusti Sang Jagadnata, termasuk kepada para leluhurnya yang telah hidup di alam sejati.

3.      Kolak ubi jalar mewakili pala kependem, hasil bumi yang buahnya berada di dalam tanah. Dibuat untuk melambangkan adanya kesalahan para leluhur kepada sesama manusia. Selain itu, pala kependem, memiliki pesan bahwa manusia hendaknya tetap berpijak di bumi. Memiliki sifat-sifat humanis, serta mulat laku jantraning bumi, yakni perilaku manusia yang andap asor tidak sombong, congkak, takabur, sikap mentang-mentang, golek benere dewe, golek butuhe dewe, golek menange dewe.  Sebaliknya harus mencontoh sifat-sifat bumi yang selalu memberikan berkah sekalipun bumi diinjak-injak oleh manusia dan seluruh makhluk penghuninya. Pala kependem yang diolah menjadi makanan kolak ubi jalar, mengingatkan kita hendaknya menjadi orang selalu melakukan “tapa mendhem” (bertapa mengubur diri) yakni mengubur segala amal kebaikan yang pernah kita lakukan pada orang lain dari ingatan kita. Agar supaya tidak mencemari ketulusan kita dan di suatu saat tidak membangkit-bangkit kebaikan kita pada orang lain.

4.      Apem dibuat untuk melambangkan adanya harapan suatu ampunan akan kesalahan di masa lalu. Kue apem berbentuk bundar atau bulat melingkar. Sebagai perlambang adanya kebulatan tekad dalam melaksanakan ritual, yakni kemantaban hati untuk mewujudkan rasa berbakti   kepada leluhur bukan hanya sebatas ucapan dan kata-kata dalam doa. Lebih dari itu diwujudkanlah dalam sikap, tindakan, dan perbuatan nyata dalam kehidupaan sehari-hari, dalam hal ini kegiatan bersih-bersih meliputi jagad kecil dan jagad besar. Di dalam kue apem terdapat bahan-bahan berupa beras ketan, kelapa/santan, gula dan sedikit garam, serta bahan pengharum makanan. semua bahan dibuat adonan, kemudian dibakar dalam cetakan bundar-bundar. Semua itu memuat pesan yakni adanya proses dalam kehidupan dan pentingnya penyelarasan dan harmonisasi antara jagad kecil dengan jagad besar dalam kehidupan semesta ini.

5.      Nasi gurih dan ingkung

Nasi gurih serih disebut juga sega atau nasi suci. Hal demikian juga melambangkan kesucian hati. Sedangkan ingkung utuh melambangkan kepasrahan diri manusia kepada Sang Khalik.

6.      Berbagi Sedekah. Selanjutnya semua ubo rampe dapat dikemas dalam dus, atau cukup disajikan di atas piring untuk selanjutnya dibagi-bagikan kepada para tetangga. Maknanya adalah manusia hidup di bumi ini hendaknya mau saling berbagi, bersedekah, dan berwatak saling mengasihi kepada sesama dan seluruh makhluk.







D.    MAKNA RITUAL TRADISI RUWAHAN
Selama bulan arwah atau Ruwah, masyarakat melakukan ritual bersih-bersih desa, kampung, makam, dan rumah.
  1. Bersih-Bersih Makam
Merupakan wujud kesetiaan dan rasa berbakti generasi penerus atau anak turun kepada para leluhurnya. Kesetiaan dan bakti akan tumbuh seiring kesadaran spiritual seseorang yang dapat memahami betapa kita hidup sekarang ini telah berhutang budi, berhutang nyawa, berhutang kemerdekaan bangsa, berhutang hutan yang hijau dan tidak rusak, sungai yang jernih, lautan masih menyimpan kekayaaan besar, berhutang budi baik dan pengorbanan, maupun berhutang harta benda warisan dari orang-orang yang menurunkan kita semua. Bersih-bersih makam merupakan salah satu cara berbakti yakni untuk membalas kebaikan para leluhur atau pendahulunya.
  1. Bersih-bersih sungai, desa, ladang dan rumah
            Merupakan wujud penghargaan dan rasa terimakasih kita kepada alam, kepada bumi yang telah melimpahkan rejeki bagi manusia. Tanah yang subur, hutan yang menghijau, sungai-sungai mengalir jernih. Semua itu merupakan berkah agung dari Sang Hyang Jagadnata, berkah yang masih mengalir karena perilaku dan sikap bijaksana para leluhur pendahulu bangsa yang hidup di masa lalu. Mereka  tidak merusak dan mengeksploitasi hutan, gunung, sungai, lautan karena kesadaran super-egonya bahwa anak cucu keturunannya, dan generasi penerus bangsa kelak masih sangat membutuhkan semua itu.
3.      Ziarah/Nyekar  atau menabur bunga di pusara leluhur
Kegiatan itu bermakna sebagai “atur sembah bekti” atau sikap menghaturkan rasa berterimakasih, sikap berbakti, sekaligus wujud nyata rasa welas asih, dan penghormatan setingginya atas seluruh jasa dan budi baik leluhur di masa lalu. Meskipun menabur bunga belumlah  sebanding dengan jasa-jasa leluhur kepada kita semua, kepada bangsa ini namun hal itu masih lebih berharga daripada hanya sekedar di rumah duduk manis sambil komat-kamit mengirim doa. Itu adalah perilaku golek penake dewe, lebih suka mencari-cari alasan pembenar atas sikapnya yang selalu mencari enaknya sendiri, daripada berkorban beaya, waktu dan berusaha yang nyata.

4.      Kenduri
Acara kenduri ini diawali dengan membaca surat Yasin secara bersamaan. Selanjutnya membaca kalimat thayyibah atau tahlil dan diakhiri dengan doa untuk leluhur. Sebelumnya tokoh masyarakat menceritakan tentang cerita para leluhur dusun, para wali serta para malaikat. Sebelum doa juga diadakan shalawat untuk Nabi Muhammad SAW. Nasi gurih dan uborampe diberikan kepada para undangan. Dikiaskan sebagai berkah untuk dimakan keluarga sendiri.






















BAB II
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Tradisi ruwahan merupakan salah satu tradisi budaya Jawa yang masih berlangsung di beberapa wilayah hingga saat ini. Tradisi ruwahan diakan pada bulan ruwah tepatnya sepuluh hari sebelum memasuki bulan puasa. Ritual tardisi ruwahan ini diawali dengan pembuatan ubo rampe seperti ketan, kolak pisang, kolak ubi jalar, apem, nasi gurih dan ingkung. Selanjutnya diadakan bersih-bersih lingkungan sekitar, membersihkan makam atau kuburan dan kemudian kenduri. Tradisi ini bertujuan untuk menghormati arwah para leluhur dan mensucikan diri sebelum memasuki bulan suci Ramadhan.
B.     SARAN
Sebagai masyarakat Jawa hendaknya kita ikut melestarikan nilai-nilai tradisi daerah agar tidak hilangseiring dengan perkembangan zaman dan mengambil sisi positif dari adanya tradisi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar